Aliran Filsafat Dalam Pendidikan
Berbagai Aliran Filsafat Dalam Pendidikan
Perenialisme
- Dasar Filsafat : Realisme
- Tujuan pendidikan :Mendidik anak rasional intelektual
- Pengetahuan : pengetahuan permanen
- Peran guru : membantu siswa berfikir rasional
- metode pembelajaran : ekspositoris
Esesnsialisme
- Dasar Filsafat : idelisme dan realisme
- tujuan pembelajaran : anak berkembang intelektualnya dan kompeten
- Pengetahuan : ketrampilan esensial dan pengetahuan dasar
- peran guru : otorita
- metode belajar : tradisional
Progesivisme
- Dasar filsafat : pragmantisme
- tujuan pembelajaran : anak hidup demokratis
- pengetahuan : pengetahua hidup gratis
- Peran guru : pembimbing
- metode pembelajaran : problem solving
Rekonstruksionisme
- Dasar filsafat : Pragmantisme
- tujuan pembelajaran : rekonstruksi masyarakat
- pengetahuan : pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan masyarakat saat ini
- peran guru : agen perubahan
- metode pembelajaran : problem solving
Pendidikan Klasik
Secara singkat, dalam pendidikan klasik, masih menurut Susan Bauer, Membaca, Mengarang (Writing), Grammar & Matematika adalah dasar & pusat dari kurikulum. Sejarah dan Sains dikenalkan dan menjadi semakin penting dengan semakin dewasanya anak. Bahasa Asing juga penting, selama tidak membebani anak & tidak mengganggu pelajaran dasar tadi. Sementara musik dan seni juga bagus selama masih bisa di-manage. Anak-anak harus memiliki landasan yang kuat dalam tata bahasa, mengeja dan menulis sebelum dia melakukan tugas analitis yang komplek. Tapi karena kita melakukan ini di rumah, maka kita lah yang menentukan buku apa yang akan digunakan serta berapa lama dan bagaimana anak belajar.
Pendidikan klasik itu lebih dari hanya sekedar pola belajar. Pertama, pendidikan klasik itu language-focused; belajar dilakukan melalui kata-kata, tertulis ataupun lisan, bukan melalui gambar (foto, video atau TV). Hal ini penting karena language-learning dan imaga-learning membutuhkan kebiasaan yang berbeda. Bahasa membutuhkan otak untuk belajar lebih keras; dalam membaca otak dipaksa untuk menerjemahkan simbol (kata-kata dalam buku) menjadi satu konsep. Sementara images (gambar), seperti yang ada dalam video atau TV, membiarkan otak menjadi pasif karena penerjemahan sudah dilakukan. Di depan layar monitor, otak dapat lebih santai dan rileks. Dan jika anak berhadapan dengan ‘written page’, maka otaknya pun harus bekerja lebih keras.
Kedua, pendidikan klasik itu mengikuti tiga tahap khusus: pertama anak disupply dengan fakta2 dan gambar2, lalu diberi logical tools untuk mengorganisasi fakta & logika tersebut dan di pola terakhir, anak dibekali untuk dapat mengeluarkan kesimpulan. Ketiga, dalam pendidikan klasik, semua ilmu pengetahun itu saling berhubungan. Misalnya saat belajar Astronomi, anak tidak hanya belajar posisi bintang tetapi juga belajar sejarah Sains, termasuk para penemu serta masa Golden Age, kala ilmuwan menyatakan bahwa bumi sebagai pusat semesta, serta sejarah pertikaian gereja dengan ilmuwan. Tetapi melakukan hal ini tidaklah mudah karena dunia itu penuh dengan ilmu. Untuk itu, dalam pendidikan klasik, sejarah digunakan sebagai skema pengorganisasiannya, dengan memulai pembelajaran dari jaman kuno lalu maju terus hingga ke masa modern.
Sebagai contoh, kami memulai dengan cerita penciptaan manusia (Nabi Adam AS), hingga Allah SWT lalu menghukumnya ke bumi. Dan untuk dapat kembali lagi ke surga, maka Nabi Adam beserta anak cucunya harus membuktikan diri sebagai mahluk yang taat. Disinilah pendidikan karakter masuk. Dalam contoh di buku Well Trained Mind, Susan memakai Bible, Book of creation, untuk penerapannya. Sebagai sesama agama Ibrahim AS, hampir ada kemiripan dengan kami yang Muslim, maka contoh yang diberikan pun masih relevan.
Ketiga pola yang dijelaskan dalam Well Trained Mind, The Trivium, adalah yang dijabarkan oleh Dorothy Sayers pada tahun 1947 dalam essaynya The Lost Tools of Learning. Pemikiran ini sendiri sudah berkambang berabad-abad yang lalu, tetapi artkel Dorothy Sayers ini memunculkan kembali pemikiran ini dalam dunia pendidikan modern. Dalam pendidikan ada dua tahap besar, yaitu Triviumdan Quadrivium. Trivium sebenarnya adalah ‘persiapan’ belajar, sementara Quadrivium adalah belajar mata pelajaran sesungguhnya (the subject itself), biasanya di Universitas. Ada tiga tahapan dalam Trivium: Grammar, Logic & Rhetoric. Dalam tahapan Grammar (Kindergatern sampai kira2 kelas 4, tetapi tidak ada batasan jelas, ini tergantung pada kematangan anak), anak belajar fakta-fakta dengan menghafal lewat lagu, puisi dan gambar. Setiap mata pelajaran memiliki Grammar masing2. Misalnya dalam matematika, ia menghafal tabel perkalian & penjumlahan. Dalam Sains, anak menghafal fakta-fakta mengenai alam. Dalam bahasa asing, anak menghafal kosakata baru, dll.
Tahap yang kedua adalah tahapan Logic. Pada tahap ini anak belajar untuk mengorganisasi fakta-fakta dan belajar argumen. Pada masa ini juga anak sudah muali belajar untuk berpikir independen. Pada masa ini juga anak mulai cenderung suka berargumen. Dalam pendidikan klasik, anak belajar untuk berargumentasi dengan baik. Belajar logic secara formal akan membantu anak memahami dasar argumentasi yang benar. Berlatih memakai argumentasi secara secara lisan dan tertulis akan membantunya mengembangkan keahlian ini. Argumentasi dipakai didalam setiap bidang study. Misalnya dalam matematika, anak belajar mengarahkan pengetahuannya tentang bilangan ke arah yang lebih abstrak dalam aljabar dan trigonometri.
Tahap terakhir, yaitu tahap Rhetoric. Rhetoric adalah seni berkomunikasi dengan baik. Jika anak sudah memperoleh ilmu pengetahuan dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam tahap Grammar, lalu belajar mengorganisasikan fakta itu menjadi satu argumen utuh dalam tahap Logic maka pada tahap Rhetoric ini anak belajar untuk berpikir dan mengkomunikasikan argumen tsb kepada orang lain dengan baik.
Tujuan Pendidikan Klasik
Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia di dalam sejarah. Cicero, seorang orator Romawi dan pendidik besar di Republik Roma, mengatakan, “Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia’” (“Republik”, buku I, 28.5). Tujuan pendidikan klasik ini juga ditekankan oleh Erasmus, seorang humanis Kristen di zaman Renaissance yang menjadi sumber inspirasi bagi Luther dan Calvin. Ia berkata, “Adalah satu hal yang tidak terbantahkan bahwa seorang manusia yang tidak terdidik akal budinya melalui filsafat dan pembelajaran yang sehat adalah satu makhluk yang lebih rendah daripada binatang, karena tidak ada binatang yang lebih liar atau berbahaya dibandingkan dengan seorang manusia yang diombang-ambingkan ke sana ke mari oleh ambisi, nafsu, kemarahan, iri hati, atau watak yang liar” (“Tentang Pendidikan Anak-Anak”, 493B).
Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia di dalam sejarah. Cicero, seorang orator Romawi dan pendidik besar di Republik Roma, mengatakan, “Kita semua disebut ‘manusia’, tetapi hanyalah yang telah terdidik melalui pembelajaran peradaban manusia yang selayaknya disebut ‘manusia’” (“Republik”, buku I, 28.5). Tujuan pendidikan klasik ini juga ditekankan oleh Erasmus, seorang humanis Kristen di zaman Renaissance yang menjadi sumber inspirasi bagi Luther dan Calvin. Ia berkata, “Adalah satu hal yang tidak terbantahkan bahwa seorang manusia yang tidak terdidik akal budinya melalui filsafat dan pembelajaran yang sehat adalah satu makhluk yang lebih rendah daripada binatang, karena tidak ada binatang yang lebih liar atau berbahaya dibandingkan dengan seorang manusia yang diombang-ambingkan ke sana ke mari oleh ambisi, nafsu, kemarahan, iri hati, atau watak yang liar” (“Tentang Pendidikan Anak-Anak”, 493B).
Kita tentu sering mendengar kalimat: “Kamu harus sekolah, supaya bisa jadi orang.” Frasa “jadi orang” ini memiliki berbagai macam penafsiran. Kebanyakan orang menafsirkan frasa “jadi orang” dari perspektif kesuksesan finansial: “Kamu harus sekolah, supaya nanti bisa bekerja dan dapat uang banyak.” Jadi, menurut interpretasi ini, jika kita tidak bisa meraih kesuksesan finansial, kita tidak layak disebut manusia. Namun frasa “menjadi manusia” diartikan secara lain oleh para pendidik dalam tradisi pendidikan klasik. Teori pendidikan klasik berkata bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk memperkembangkan dirinya menuju keutuhan kemanusiaannya.
Di dalam penekanannya akan pengembangan potensi individual melalui pembelajaran kebudayaan manusia, pendidikan klasik tidak mengenal dikotomi antara individu dan komunitas. Individu hanya dapat berkembang secara penuh di dalam komunitas, dan komunitas berkembang ketika individu berkembang. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat individualisme modern yang menempatkan individu ke dalam sistem kompetisi di komunitasnya. Dalam pendidikan klasik, perkembangan individu dan perkembangan komunitas berjalan secara harmonis. Humanitas adalah kesempurnaan kemanusiaan di dalam satu individu yang mengakibatkan kepada kemajuan kebudayaan di dalam komunitasnya.
Pembelajaran secara personal adalah kegiatan mengajar guru yang menitik beratkan pada bantuan dan bimbingan belajar kepada masing-masing individu. Bantuan dan bimbingan belajar kepada individu juga ditemukan pada pembelajaran klasikal, tetapi prinsipnya berbeda. Pada pembelajaran personal, guru memberi bantuan kepada masing-masing pribadi. Sedangkan pada pembelajaran klasikal, guru member bantuan secara umum. Sebagai ilustrasi, bantuan guru kelas tiga kepada siswa yang membaca dalam hati dan menulis karangan adalah pembelajaran personal. Pada membaca dalam hati secara personal siswa menemukan kesukaran sendiri-sendiri. ciri-ciri yang menonjol pada pembelajaran personal dapat ditinjau dari segi (i) tujuan pengajaran, (ii) siswa sebagai subjek yang belajar, (iii) guru sebagai pembelajar, (iv) program pembelajaran, serta (v) orientasi dan tekanan utama dalam peaksanaan pembelajaran.
Pendekatan ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada pengembangan individu. Perhatian utamanya pada emosional peserta didik dalam mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Pendekatan ini menjadikan pribadi peserta didik mampu membentuk hubungan harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif. Tokoh humanistik adalah Abraham Maslow (1962), R. Rogers, C. Buhler dan Arthur Comb. Menurut teori ini, guru harus berupaya menciptakan kondisi kelas yang kondusif, agar peserta didik merasa bebas dalam belajar mengembangkan dirin baik emosional maupun intelektual. Teori humanistik timbul sebagai cara untuk memanusiakan manusia. Pada teori humanistik ini, pendidik seharusnya berperan sebagai pendorong bukan menahan sensivitas peserta didik terhadap perasaanya. Implikasi teori ini dalam pendidikan adalah sebagai berikut.
- Bertingkah laku dan belajar adalah hasil pengamatan.
2. Tingkahlaku yang ada dapat dilaksanakan sekarang (learning to do).
3. Semua individu memiliki dorongan dasar terhadap aktualisasi diri.
4. Sebagian besar tingkahlaku individu adalah hasil dari konsepsinya sendiri.
5. Mengajar adalah bukan hal penting, tapi belajar bagi peserta didik adalah sangat penting.
6. Mengajar adalah membantu individu untuk mengembangkan suatu hubungan yang produktif
dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap.
Ada beberapa model pembelajaran yang termasuk pendekatan ini , diantaranya adalah pengajaran tidak langsung, pelatihan kesadaran, sinektik, system konseptual, dan pertemuan kelas
Ada beberapa model pembelajaran yang termasuk pendekatan ini , diantaranya adalah pengajaran tidak langsung, pelatihan kesadaran, sinektik, system konseptual, dan pertemuan kelas
Konsep pendidikan ini bardasarkan dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan, berintikan kerja sama dan interaksi. Pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak, dari guru kepada siswa dan dari siswa kepada guru, interaksi ini juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan lingkungan, antara pemikiran siswa dengan kehidupannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, nelajar lebih dari sekedar mempelajari fakta-fakta. Siswa mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupannya.
Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar, interaksi ini pada tahap tingkat mencari makna baik makna social (socially conscious) maupun makna pribadi (self conscious). Isi atau bahanajar ini berkenan dengan lingkungan social-budaya yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna dari fakta-fakta dari nilai-nilai social budaya, mereka mengadakan evaluasi, kritik dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia.
Siswa sebagai individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan selalu ada hubungan timbale balik antara keduanya. Pandangan-pandangannya mempengaruhi bentuk dan pola lingkungan, di lain pihak kekuatan dan keterbatasan lingkungan mempengaruhi individu siswa.
Sekolah merupakan pintu untuk memasuki masyarakat, menentukan stratifikasi social, dan memberikan kesiapan untuk melakukan berbagai pekerjaan, sekolah menyiapkan anak dengan berbagai keterampilan social juga keterampilan bekerja. Lebih jauh, sekolah juga berperan dalam membina sikap positif terhadap dunia kerja, disiplin kerja dan sebagainya. Pendidikan berperan dalam mengembangkan identitas pribadi, memperbaiki modus dari kehidupan.
Proses belajar dalam model interaksional terjadi melalui dialog dengan orang lain, yaitu guru, teman, atau yang lainnya. Belajar adalah kerja sama dan saling kebergantungan dengan orang lain. Melalui interaksi maka akan muncul pengetahuan, pendapat, sikap, dan keterampilan-keterampilan baru. Guru berperan dalam menciptakan situasi dialog dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu.
Kurikulum pendidikan interaksional menekankan baik pada isi maupun proses pedidikan sekaligus. Isi pendidikan terdiri atas problem-problem nyata yang actual yang dihadapi dalam kehidupan di masyarakat.
Teknologi pendidikan merupakan suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun keduanya ini memiliki perbedaan, yakni dalam teknologi pendidikan lebih mengutamakan pada pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama.
Selain itu, dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan berupa objek dan keterampilan yang mengarah pada kemampuan vokasional. Isi disusun dalam bentuk desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan media elektronik, dan para peserta didik belajar secara individual. Sehingga pendidik berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak pada tugas-tugas pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber berkembangnya model kurikulum yakni model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi peserta didik, sehingga pembelajarannya menggunakan media pembelajaran individual, media buku maupun media elektronik.
Pendidikan Klasik → Akademik
Pendidikan Teknologi → Profesi
Pendidikan Personal → Pribadi Yang Utuh
Pendidikan Interaksional → Pribadi Yang bermasyarakat
sumber
http://staff.uny.ac.id/dosen/prof-dr-anik-ghufron-mpd
Komentar
Posting Komentar